PARIAMAN, KLIKPOSITIF
– Vaksin COVID-19 atau Sinovac telah didistribusikan untuk kawasan Sumatra Barat. Perihal tersebut, memicu perdebatan dan pertanyaan di tengah-tengah masyarakat, apakah Sinovac berbahaya atau boleh kah warga menolak untuk divaksinasi.
Menyoal terkait itu, Pengamat Hukum Kesehatan, Firdaus Diezo mengatakan untuk wilayah Sumatera Barat (Sumbar), secara khusus belum ada kebijakan atau Perda yang mengatur terkait vaksinasi serta denda bagi warga yang menolak Sinovac.
“Namun bila kita lihat pada Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta tentang penanggulangan COVID-19 dikatakan, setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reactin atau Tes Cepat Molekule atau pemeriksaan penunjang yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah),” ungkapnya pada KLIKPOSITIF, Kamis 7 Januari 2021.
“Untuk Sumbar sendiri kita belum tau, seperti apa Perda-nya, dan berapa jumlah denda yang akan dikenakan,”jelas pria yang kerap dipanggil Diezo itu.
Lebih lanjut dijelaskannya, kendatipun secara khusus belum ada kebijakan atau Perda yang mengaturnya, namun pemahaman untuk itu bisa berpedoman pada Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
Pengamat Hukum Kesehatan itu juga mengutarakan, tidak semua masyarakat yang memahami pentingnya vaksinasi, bahkan ada juga yang menolak untuk diberi vaksin.
“Dinamika penolakan vaksin tentu ada. Maka dalam hal ini, pemerintah pusat dan daerah perlu melakukan langkah persuasif. Ini tantangan untuk Pemerintah karena untuk menyukseskan target pemerintah yakni 70 persen populasi yang akan divaksin, dibutuhkan peran aktif masyarakat,” sebut Diezo.
Era covid-19 ini unik, kata Diezo lagi, satu sisi persoalan harus diselesaikan dengan cepat demi keselamatan warga. Namun sejalan dengan itu juga, peraturan hukum untuk mengahadapi pandemi ini kalah cepat dengan zamannya.
“Kondisinya tidak menentu. Inilah tantangan besar bagi pemangku kebijakan mengatasi COVID-19 yang berbentur dengan persoalan normatif dari masyarakat sendiri. Negara lain juga begitu tentang normatif, sehingga keteteran juga,” sebut Diezo.
Dia menyimpulkan, jika ada warga yang menolak untuk divaksin tentu bertentangan dengan UU No.4 Tahun 1984.
“Dalam hal ini masyarakat perlu diberikan edukasi dengan pasokan informasi pihak terkait hingga ke akar rumput, terkait manfaat vaksin dan kepastian keamanan. Informasi terkait itu sangatlah penting sehingga budaya hukum masyarakat lebih baik soal ini,” jelas Diezo.
Dikatakannya juga, ketika Presiden sudah memastikan dirinya sebagai orang pertama divaksin berarti upaya pendistribusian vaksin sebagai upaya preventif telah melalui pertimbangan.
“Apabila soal keamanan mengkonsumsi vaksin COVID-19 yang menjadi alasan penolakan warga terhadap vaksinasi, ini kan sudah melalui kajian. Prosesnya tentu sudah melalui kajian BPOM sebelum didistribusikan sehingga ada jaminan kesehatan untuk itu,” jelasnya.